Logistik Kemanusiaan: Bagaimana PMI Mendistribusikan Bantuan di Daerah yang Terisolasi Akibat Bencana

Infrastruktur yang hancur, jalur darat yang terputus akibat longsor, atau jembatan yang ambruk adalah skenario umum pasca bencana di Indonesia. Di sinilah logistik kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI) diuji. Tantangan utama PMI adalah bagaimana mendistribusikan bantuan esensial—seperti makanan, air bersih, tenda, dan obat-obatan—ke daerah-daerah yang terisolasi, seringkali dalam waktu kurang dari 72 jam pertama yang krusial. Kecepatan dan ketepatan dalam mendistribusikan bantuan ini menjadi penentu kelangsungan hidup para penyintas. PMI tidak hanya mengandalkan truk besar; mereka menggunakan pendekatan multi-moda dan inovasi di lapangan untuk mengatasi “mil terakhir” (the last mile) pendistribusian.


Strategi Pra-Bencana: Pre-Positioning dan Gudang Regional

Kecepatan respons PMI dimulai jauh sebelum bencana terjadi melalui strategi pre-positioning. PMI mempertahankan Jaringan Gudang Regional yang strategis di wilayah rawan bencana, seperti Gudang PMI di Surabaya yang berfungsi sebagai hub untuk Indonesia Timur. Gudang-gudang ini menyimpan stok penyangga (buffer stock) logistik utama, termasuk 5.000 paket bantuan keluarga (Family Kits), 10.000 terpal, dan alat sanitasi air. Sebagai contoh spesifik, pada 12 Juni 2025, Gudang Regional PMI di Jawa Timur tercatat memiliki kapasitas buffer stock penuh, memastikan barang-barang ini siap dimobilisasi tanpa menunggu proses pengadaan. Ketersediaan stok ini memungkinkan PMI segera mendistribusikan bantuan dalam 24 jam pertama begitu Tim Reaksi Cepat (TRC) selesai melakukan Kajian Cepat Kebutuhan (RNA).

Inovasi Transportasi di Medan Ekstrem

Daerah terisolasi pasca-bencana menuntut solusi transportasi yang tidak konvensional. PMI telah mengembangkan dan menggunakan armada khusus serta menjalin kemitraan strategis untuk mengatasi hambatan geografis:

  • Kendaraan Amfibi dan Off-Road: Untuk daerah yang terendam banjir bandang atau lumpur tebal, PMI mengoperasikan kendaraan amfibi, seperti unit Hagglunds, yang mampu bergerak di medan sulit. Dalam kasus banjir di Kabupaten Lebak, Banten, pada Januari 2020, PMI mengerahkan Hagglunds dan perahu karet untuk mendistribusikan bantuan di desa-desa yang terputus total.
  • Dukungan Udara: Ketika akses darat dan laut mustahil, PMI berkoordinasi dengan TNI Angkatan Udara untuk menggunakan helikopter atau pesawat kargo Hercules. Pada penanganan gempa yang melanda Pulau D pada Jumat, 10 Mei 2024, PMI berhasil melakukan dropping logistik menggunakan helikopter ke dua desa terpencil yang jalurnya tertutup longsoran material, memastikan air bersih dan makanan instan segera diterima oleh 750 Kepala Keluarga (KK).
  • Tim Long March Relawan: Di wilayah pegunungan yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki, seperti pasca-tanah longsor, relawan spesialis PMI sering melakukan long march atau pendakian. Setiap relawan dapat membawa beban ransel logistik hingga 25 kilogram, mendaki selama berjam-jam untuk menjangkau titik distribusi terjauh.

Koordinasi dan Akuntabilitas di Lapangan

Proses mendistribusikan bantuan di lokasi terisolasi diatur dengan ketat untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas. Petugas logistik PMI bekerja erat dengan aparat keamanan, seperti Kepolisian Resor setempat, untuk mengawal dan mengamankan rute distribusi, terutama saat terjadi kerawanan sosial. Sebagai contoh, dalam respons bencana alam di suatu kabupaten pada Rabu, 15 April 2025, Kepolisian Resor menerjunkan dua unit kendaraan patroli untuk mengawal tiga truk bantuan PMI guna memastikan logistik tiba di titik distribusi akhir dengan aman dan tepat waktu. Seluruh proses dicatat secara transparan—siapa menerima, apa yang diterima, dan kapan—untuk mencegah duplikasi dan memastikan bantuan mencapai kelompok yang paling rentan.